Jumat, 11 November 2011

Mentari tak lelah

ketika senja beranjak pergi
malam berganti ku nikmati sendiri
seperti hari" berlalu seolah tak beriku waktu tuk menanti dirimu

andaikan waktu dapat kembali semua yang terjadi kan ku cegah terjadi
dan bila masihku di beri maaf ku berjanji takan ku ulangi smua kesalahanku ..

dan lihatlah diriku resah tanpamu namun ku tak pernah jemuh menanti kehadiranmu
seperti mentari yang tak pernah lelah yang slalu saja mengalah ketika malam hendak tinggala

Selasa, 08 November 2011


“Kutulis surat ini setelah berbelas musim aku terbang menuju matahari. Demi ruang, juga jarak.
Untuk apa? Kau bertanya.
Kujawab demi kita.
Tapi ternyata aku kemudian mengerti bahwa kita adalah gagasan yang
rumit. Antara ada dan tiada. Pernah ada masanya kau dan aku satu. Tapi tak menjadi kita. Kita mungkin seperti matahari dan hujan. Bisa melahirkan pelangi, tapi tak selalu di ranjang yang sama. Kita barangkali sebuah angan yang absurd. Tentang unifikasi sebuah relasi yang menggetarkan, sekaligus memedihkan.
Itu sebabnya aku butuh jarak dan ruang. Demi kita.
Kita tak sedang hidup di taman yang teduh dengan telaga yang tenang.
Hidup kita adalah kereta harapan yang bersicepat dengan waktu. Aku harus mengejarnya sebelum kita menjadi sesuatu yang kedaluwarsa. Aku juga mengerti penantianmu di setiap dini hari—menungguku
mengejar matahari, memburu cerah hati—membuatmu ditikam sepisau
sepi

Kau boleh sebut diriku liliput dari Negeri Dongeng. Kau boleh katakan diriku pecundang tolol dari Bukit Sia-sia. Tapi perlu kau tahu, aku pun melakukannya demi kita. Meskipun itu artinya musim-musim semi yang kulewati dengan sendiri meringkus sepi. Semoga kau mengerti… “ Malam ini, aku ingin kau baca lagi surat itu. Bacalah pelan-pelan dengan
hatimu. Kelak kau akan mengertil bahwa hanya satu yang kuinginkan dalam
hidupku: melihatmu tidur dan tersenyum.

Perpisahan, sedianya melibatkan dua orang: ia yang tinggal, dan ia yang pergi. Seperti pagi itu, ketika kamu memutuskan untuk memilihnya dan meninggalkanku. Jadi bayangkan, betapa sepinya perpisahan yang harus dilalui seorang diri. Seperti berkali-kali; seperti setiap hari, ketika aku mengucapkan selamat tinggal

If blood will flow when flesh and steel are one
Drying in the colour of the evening sun
Tomorrow’s rain will wash the stains away
But something in our minds will always stay …

kau dan aku


Selama kita tidak bercakap tentang ‘kita’, maka segalanya akan baik-baik saja. Benarkah begitu? Aku kesepian. Causeway Bay tanpa kamu seperti ribuan bola lampu yang terlalu
terang. Menyakitkan untuk dipandang. Sakit yang familiar. Seperti juga
sengatan di hatiku ketika kita berpisah. Ketika kamu memutuskan untuk
memilihnya pagi itu.
Dia—bukan aku. Aku tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak bertanya mengapa dia—dan bukan
aku. Karena bukankah kita memang tidak pernah bicara tentang cinta ketika
memutuskan untuk bersama? Bukankah seperti selalu, seperti selayaknya, kita
hanya mengada? Tanpa pernah mempertanyakan rasa macam apa yang selama
ini kita genggam dalam jari-jemari kita yang bertaut?
Sehingga di sinilah aku, bertahun-tahun setelah perpisahan itu. Di detik yang merapuh ini sendiri

kau dan aku

Maka mengertilah kalau aku kemudian memilih jalan yang sulit—seperti sajak Robert Frost yang pedih itu. Two roads diverged in a yellow wood and sorry I could not travel both… Aku lebih suka jalan yang paling jarang dilalui orang, demi membuat perbedaan. Tapi percayalah, kamu selalu menjadi bintang di hatiku. Kamu tentu tahu bahwa bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang mati pun masih terlihat indah dari kejauhan, bertahun kemudian. Kelak, jika waktu mempertemukan aku dan dirimu kembali, aku akan bercerita tentang senja yang memerah saga. Tentang warna-warni pelangi dan bidadari yang menari di tepi lazuardi. Sekarang hapuskan dulu air matamu. Aku tak kuasa menanggung pedih dan perihmu. Sedihmu adalah tembang megatruh bagiku. Daun-daun yang luruh, lalu lesap ditelan bumi

kau dan aku


Bintang mungkin sebuah perlambang: bahwa yang sudah mati pun bisa terus
bersinar dan terlihat indah dari kejauhan, bahkan setelah bertahun-tahun
kemudian.
Aku mendapatkan kesan itu setelah nyaris setiap malam menggelandang
bersama bintang-bintang—sekian purnama setelah kau pergi di pagi yang basah
waktu itu. Oh ya, tentu saja aku masih mengingat dengan sempurna setiap
detail adegan yang membuat hatiku seperti dirajam sembilu.
Aku ingat kau bertanya, “Kenapa kita mesti berpisah?” Dan aku menjawab, “Kenapa tidak?” “Kita” mungkin bukan gagasan yang bagus ketika aku dan dirimu sesungguhnya
memang jalan yang bercabang. Bukankah kamu sendiri yang bilang, kita adalah
dua orang yang berbeda. Dengan kelebihan dan kekurangan, keinginan,
harapan, keberanian, juga ketakutan masing-masing.
Dan ketika dua yang berbeda itu hendak dijadikan satu, yang terjadi bukan
saling melengkapi, melainkan baku menyakiti. Ah, kamu pasti juga masih ingat
ketika aku ingin ke utara, sedangkan kamu ingin ke selatan. Kamu mau salju,
aku berharap musim panas.
Memang ada masa-masa ketika secangkir kopi panas terasa nikmat kita sesap
berdua. Sewaktu kita hanya perlu satu payung sebagai pelindung dari tumpahan
hujan yang begitu deras.
Tapi rupanya gagasan tentang “kita” mudah retak di tengah jalan. Dan aku seperti kupu-kupu dengan sayap yang patah ketika “kita” berubah menjadi belenggu.

Setiap kali menengadah pada bintang-bintang di langit malam, aku selalu melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu.Rasanya sudah lama sekali sejak kita bertemu untuk yang pertama kali. Aku
hampir lupa seberapa sering kita bicara hingga dini hari. Atau diam saja
memandangi hujan sampai bosan. Dan aku sungguh-sungguh lupa kapan
terakhir kali kita tertawa bersama. Kapan terakhir kali kita menangis berdua.Aku tidak suka ini. Kenyataan bahwa aku mulai melupakan banyak hal tentangkita. Detail-detail kecil yang menurutku penting.“Mungkin kamu akan melupakan mereka yang pernah tertawa bersamamu,
tetapi kamu tidak akan pernah bisa melupakan mereka yang pernah menangis
bersamamu,” begitu katamu—dulu.Ya, aku tidak melupakanmu. Belum. Meskipun aku ingin. Meskipun aku mau.
Karena alangkah lebih baiknya jika begitu. Aku tak perlu mengingat betapa kita
memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda sama sekali. Sendiri-sendiri.
Meninggalkan apa yang pernah kita miliki tanpa pernah memutuskan apakah
kita akan kembali, atau apakah kita akan bertemu lagi suatu saat nanti.Sekarang, kita seperti dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal.
Menapaki hidup masing-masing dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke
depan, agar hati kita yang rapuh dan retak-retak ini luput dari pandangan. Kita
memaksa diri untuk tidak menoleh ke belakang. Untuk mengubur semua yang
pernah ada.Tetapi kita tahu, bahwa apa yang kita campakkan itu, akan tetap ada selama kita
ada. Kita sudah terlalu lama bersama. Tidak secepat itu kita bisa terpisah dari
satu sama lain dan menjadi baik-baik saja. Dan bukankah hingga detik ini, kita
masih bertanya-tanya, apakah dulu yang kita campakkan itu cinta?Malam ini, ketika aku menengadah memandangi bintang-bintang di langitmalam, aku melihat kita di masa lalu. Kita adalah kelap-kelip itu.Di mana kamu berada saat ini? Apakah kamu juga tengah memandangi langitmalam ini, langit yang biasa kita bagi bersama? Katakan, apa yang kamu lihat ketika kamu memandangi bintang-bintang? Apakah kamu masih melihat aku dan kamu di masa lalu?
 

Note of mind © 2011 -- Template created by Rian alvino prasetio --