Selasa, 08 November 2011


“Kutulis surat ini setelah berbelas musim aku terbang menuju matahari. Demi ruang, juga jarak.
Untuk apa? Kau bertanya.
Kujawab demi kita.
Tapi ternyata aku kemudian mengerti bahwa kita adalah gagasan yang
rumit. Antara ada dan tiada. Pernah ada masanya kau dan aku satu. Tapi tak menjadi kita. Kita mungkin seperti matahari dan hujan. Bisa melahirkan pelangi, tapi tak selalu di ranjang yang sama. Kita barangkali sebuah angan yang absurd. Tentang unifikasi sebuah relasi yang menggetarkan, sekaligus memedihkan.
Itu sebabnya aku butuh jarak dan ruang. Demi kita.
Kita tak sedang hidup di taman yang teduh dengan telaga yang tenang.
Hidup kita adalah kereta harapan yang bersicepat dengan waktu. Aku harus mengejarnya sebelum kita menjadi sesuatu yang kedaluwarsa. Aku juga mengerti penantianmu di setiap dini hari—menungguku
mengejar matahari, memburu cerah hati—membuatmu ditikam sepisau
sepi

Kau boleh sebut diriku liliput dari Negeri Dongeng. Kau boleh katakan diriku pecundang tolol dari Bukit Sia-sia. Tapi perlu kau tahu, aku pun melakukannya demi kita. Meskipun itu artinya musim-musim semi yang kulewati dengan sendiri meringkus sepi. Semoga kau mengerti… “ Malam ini, aku ingin kau baca lagi surat itu. Bacalah pelan-pelan dengan
hatimu. Kelak kau akan mengertil bahwa hanya satu yang kuinginkan dalam
hidupku: melihatmu tidur dan tersenyum.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Note of mind © 2011 -- Template created by Rian alvino prasetio --